Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan pertanian yang sangat besar. Dengan luas daratan sekitar 191 juta hektare, Indonesia memiliki 94 juta hektare lahan yang berpotensi atau sesuai untuk pertanian, baik lahan basah maupun lahan kering. Lahan potensial ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Papua.
Namun, potensi lahan pertanian Indonesia tidak serta merta dapat dimanfaatkan secara optimal. Ada berbagai tantangan dan permasalahan yang menghadang, mulai dari alih fungsi lahan, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga rendahnya produktivitas dan kesejahteraan petani. Bagaimana Indonesia dapat mengatasi tantangan-tantangan ini dan memanfaatkan potensi lahan pertanian secara berkelanjutan?
Lahan Basah: Sawah dan Rawa
Lahan basah adalah lahan yang memiliki ketersediaan air yang cukup atau berlebih, baik secara alami maupun buatan. Lahan basah umumnya digunakan untuk tanaman padi, yang merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Lahan basah di Indonesia terdiri dari lahan sawah dan lahan rawa.
Lahan sawah adalah lahan basah yang telah dibangun irigasi dan drainase, sehingga dapat mengendalikan ketersediaan air dan mengurangi risiko banjir dan kekeringan. Lahan sawah di Indonesia mencapai 25,4 juta hektare, yang terbagi menjadi sawah irigasi teknis (9,8 juta hektare), sawah irigasi setengah teknis (7,6 juta hektare), sawah tadah hujan (7,2 juta hektare), dan sawah pasang surut (0,8 juta hektare).
Lahan rawa adalah lahan basah yang belum dibangun irigasi dan drainase, sehingga masih bergantung pada aliran air alami dan curah hujan. Lahan rawa di Indonesia mencapai 20,5 juta hektare, yang terbagi menjadi rawa pasang surut (14,3 juta hektare) dan rawa lebak (6,2 juta hektare). Lahan rawa memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan sawah, namun membutuhkan investasi dan teknologi yang cukup besar.
Lahan basah memiliki peran penting dalam ketahanan pangan nasional. Lahan sawah menghasilkan sekitar 80% produksi beras nasional, yang mencapai 77,4 juta ton pada tahun 20202. Lahan rawa juga berpotensi untuk meningkatkan produksi beras, jika dikelola dengan baik. Selain itu, lahan basah juga berfungsi sebagai penyangga ekosistem, seperti menjaga keseimbangan hidrologi, menyimpan karbon, dan menjadi habitat berbagai flora dan fauna.
Namun, lahan basah juga menghadapi ancaman alih fungsi, terutama akibat pembangunan infrastruktur, perumahan, industri, dan pertambangan. Pada tahun 2019, luas baku sawah nasional hanya 7,465 juta hektare, turun dibandingkan posisi 2013 yang 7,75 juta hektare. Artinya, 285.000 hektare lahan sawah beralih fungsi selama kurun 2013-2019 atau rata-rata 47.500 hektare per tahun. Lahan rawa juga mengalami degradasi, terutama akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, kebakaran hutan dan lahan, serta perubahan iklim.
Untuk mengatasi tantangan alih fungsi lahan basah, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program, seperti moratorium lahan sawah, pengembangan lahan rawa, revitalisasi irigasi, dan pemberian insentif kepada petani. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, swasta, dan akademisi dalam menjaga dan memanfaatkan lahan basah secara bertanggung jawab.
Lahan Kering: Dataran Rendah dan Tinggi
Lahan kering adalah lahan yang memiliki ketersediaan air yang kurang atau tidak berlebih, baik secara alami maupun buatan. Lahan kering umumnya digunakan untuk tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dll), tanaman hortikultura (sayur, buah, bunga, dll), tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, dll), dan tanaman pangan lokal (ubi, ganyong, talas, dll). Lahan kering di Indonesia mencapai 68,6 juta hektare, yang terbagi menjadi lahan kering dataran rendah (61,8 juta hektare) dan lahan kering dataran tinggi (6,8 juta hektare).
Lahan kering dataran rendah adalah lahan kering yang berada pada ketinggian kurang dari 700 meter di atas permukaan laut. Lahan kering dataran rendah memiliki iklim tropis basah dan kering, dengan curah hujan antara 1.000-3.000 mm per tahun. Lahan kering dataran rendah memiliki tingkat kesuburan dan kemasaman yang bervariasi, tergantung pada jenis tanah, bahan induk, dan pengelolaannya. Lahan kering dataran rendah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, namun lebih banyak di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Lahan kering dataran tinggi adalah lahan kering yang berada pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut. Lahan kering dataran tinggi memiliki iklim subtropis basah, dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm per tahun. Lahan kering dataran tinggi memiliki tingkat kesuburan dan kemasaman yang lebih rendah daripada lahan kering dataran rendah, karena adanya proses pencucian hara oleh air hujan. Lahan kering dataran tinggi terbatas di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.
Lahan kering memiliki peran penting dalam diversifikasi pangan nasional. Lahan kering menghasilkan berbagai komoditas pangan yang dapat menjadi alternatif atau pelengkap beras, seperti jagung, kedelai, ubi, ganyong, dll. Lahan kering juga menghasilkan berbagai komoditas hortikultura yang dapat meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat, seperti sayur, buah, bunga, dll. Selain itu, lahan kering juga berfungsi sebagai sumber pendapatan dan devisa negara, melalui komoditas perkebunan yang diekspor, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dll.
Namun, lahan kering juga menghadapi ancaman kerusakan, terutama akibat erosi, kekeringan, banjir, salinisasi, dan pencemaran. Lahan kering juga mengalami penurunan produktivitas, akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak sesuai, pengolahan tanah yang tidak tepat, dan serangan hama dan penyakit. Lahan kering juga mengalami kesenjangan pemanfaatan, antara lahan kering dataran rendah yang lebih banyak dimanfaatkan oleh perkebunan besar, dengan lahan kering dataran tinggi yang lebih banyak dikelola oleh petani kecil.
Untuk mengatasi tantangan kerusakan lahan kering, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program, seperti rehabilitasi lahan kritis, pengembangan lahan kering marginal, pengembangan teknologi irigasi hemat air, dan pemberdayaan petani lahan kering. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan kapasitas dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat, swasta, dan akademisi dalam mengelola dan memanfaatkan lahan kering secara berkelanjutan.
Kesimpulan
Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan pertanian yang sangat besar, namun juga menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang kompleks. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang serius dan berkelanjutan dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, swasta, maupun akademisi, dalam menjaga dan memanfaatkan lahan pertanian secara berkelanjutan.
Pertanian bukan hanya soal produksi pangan, tetapi juga soal kesejahteraan petani, keberlanjutan lingkungan, dan kedaulatan pangan nasional. Oleh karena itu, pertanian harus dikelola dengan prinsip-prinsip agroekologi, yaitu pertanian yang berkelanjutan, berkeadilan, dan berdaulat.
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan dunia, jika mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dan memanfaatkan potensi lahan pertanian secara optimal. Untuk itu, mari kita dukung pertanian Indonesia dengan cara-cara yang kita bisa, mulai dari memilih produk pertanian lokal, mengurangi sampah plastik, hingga berpartisipasi dalam program-program pelestarian lingkungan.
Demikianlah berita/artikel ini kami tutup dengan harapan semoga dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih telah membaca dan sampai jumpa di berita/artikel selanjutnya. Salam lestari! 🌱