Dari Robot Hingga Terasering: Perbandingan Sistem Pertanian di Jepang dan Indonesia

 



Pertanian adalah sektor yang vital bagi kehidupan manusia. Tanpa pertanian, kita tidak akan memiliki pangan, serat, dan bahan baku lainnya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Namun, pertanian tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia. Pertanian juga mencerminkan budaya, sejarah, dan nilai-nilai masyarakat yang menjalaninya.

Jepang dan Indonesia adalah dua negara yang memiliki sejarah pertanian yang panjang dan kaya. Keduanya juga merupakan negara agraris, yang artinya sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian. Namun, meskipun memiliki kesamaan tersebut, sistem pertanian di Jepang dan Indonesia sangat berbeda.

Perbedaan sistem pertanian di Jepang dan Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, mulai dari teknologi, kebijakan pemerintah, hingga budaya petani. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana kedua negara tersebut menghadapi tantangan dan peluang yang berbeda dalam mengembangkan sektor pertanian mereka.

Dalam artikel ini, kita akan membahas perbandingan sistem pertanian di Jepang dan Indonesia secara lebih detail, dengan mengambil contoh dari beberapa praktik dan inovasi pertanian yang dilakukan oleh kedua negara tersebut.

Teknologi: Robotik vs Tradisional

Salah satu perbedaan yang mencolok antara sistem pertanian Jepang dan Indonesia adalah penggunaan teknologi. Jepang dikenal sebagai negara yang maju dalam bidang teknologi, termasuk teknologi pertanian. Mereka telah mengembangkan berbagai alat dan mesin canggih yang membantu petani dalam melakukan pekerjaan mereka, seperti robot, sensor, dan kecerdasan buatan.

Salah satu contoh teknologi pertanian yang digunakan di Jepang adalah robot pemanen buah. Robot ini dapat mengenali warna, bentuk, dan ukuran buah yang matang, dan memetiknya dengan hati-hati tanpa merusak kulit atau daging buah. Robot ini juga dapat beradaptasi dengan kondisi cuaca dan lingkungan, serta berkomunikasi dengan petani melalui internet.

Teknologi robotik ini membantu petani Jepang mengatasi masalah kekurangan dan penuaan tenaga kerja di sektor pertanian. Menurut data dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, jumlah petani di Jepang menurun dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 1,7 juta pada tahun 2019. Rata-rata usia petani di Jepang juga meningkat dari 65,8 tahun pada tahun 2010 menjadi 67,4 tahun pada tahun 2019.

Sementara itu, di Indonesia, penggunaan teknologi pertanian masih terbatas dan belum merata. Banyak petani di Indonesia masih menggunakan metode dan alat pertanian tradisional, seperti bajak, cangkul, dan sabit. Meskipun ada beberapa program pemerintah yang bertujuan untuk memberikan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) kepada petani, namun masih ada kendala dalam hal distribusi, akses, dan pemeliharaan.

Salah satu alasan mengapa penggunaan teknologi pertanian di Indonesia masih rendah adalah karena sebagian besar petani di Indonesia adalah petani skala kecil, yang memiliki lahan yang sempit dan modal yang terbatas. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2018, sekitar 95% petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari 2 hektar, dan sekitar 62% petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.

Selain itu, banyak petani di Indonesia juga masih bergantung pada pengetahuan dan pengalaman tradisional dalam mengelola lahan mereka, dan kurang terbuka terhadap inovasi dan perubahan. Hal ini dapat menghambat peningkatan produktivitas dan kualitas pertanian di Indonesia.

Kebijakan Pemerintah: Proteksi vs Produksi

Perbedaan sistem pertanian Jepang dan Indonesia juga dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sektor pertanian. Jepang memiliki kebijakan yang lebih protektif dan mendukung petani lokal, sedangkan Indonesia memiliki kebijakan yang lebih berorientasi pada produksi dan pasar.

Jepang memiliki fokus yang kuat pada keamanan pangan dan kemandirian pangan. Mereka mendorong produksi lokal dan diversifikasi sumber pangan untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Jepang juga memberlakukan tarif impor yang tinggi untuk beberapa komoditas pangan, seperti beras, gandum, dan gula, untuk melindungi petani lokal dari persaingan dengan produk impor yang lebih murah.

Selain itu, pemerintah Jepang memberikan dukungan finansial dan kebijakan subsidi yang besar untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Menurut data dari Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pada tahun 2019, pemerintah Jepang memberikan bantuan sebesar US$ 46,5 miliar kepada sektor pertanian, yang setara dengan 49,4% dari pendapatan petani. Bantuan ini termasuk dalam bentuk harga minimum, pembayaran langsung, asuransi, dan bantuan struktural.

Di sisi lain, Indonesia memiliki kebijakan yang lebih fokus pada peningkatan produksi dan produktivitas pertanian, guna mengurangi impor pangan dan mencapai swasembada pangan. Indonesia juga memberlakukan liberalisasi perdagangan dan menurunkan tarif impor untuk beberapa komoditas pangan, seperti bawang putih, garam, dan gula, untuk memenuhi permintaan pasar dan menekan inflasi.

Namun, kebijakan ini seringkali menimbulkan dampak negatif bagi petani lokal, yang harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan berkualitas. Selain itu, pemerintah Indonesia juga kurang memberikan dukungan finansial dan kebijakan subsidi yang memadai untuk sektor pertanian. Menurut data dari OECD, pada tahun 2019, pemerintah Indonesia hanya memberikan bantuan sebesar US$ 8,2 miliar kepada sektor pertanian, yang setara dengan 15,5% dari pendapatan petani. Bantuan ini termasuk dalam bentuk harga minimum, pembayaran langsung, asuransi, dan bantuan input.

Budaya Petani: Harmoni vs Heterogen

Perbedaan sistem pertanian Jepang dan Indonesia juga dipengaruhi oleh budaya petani yang berbeda. Budaya petani mencakup pandangan, nilai-nilai, dan perilaku yang berkaitan dengan pertanian, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sejarah, geografi, agama, dan etnis.

Jepang memiliki budaya petani yang didasarkan pada konsep keharmonisan dengan alam, yang dikenal sebagai “wa”. Prinsip ini mendorong pengelolaan pertanian yang seimbang dengan ekosistem alam, menjaga keselarasan antara manusia dan alam. Hal ini terlihat dari cara petani Jepang memperlakukan lahan mereka yang dianggap sebagai harta suci dan warisan budaya.

Salah satu contoh praktik pertanian yang mencerminkan konsep “wa” adalah sistem sawah terasering, yang merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi geografis Jepang yang berbukit-bukit dan berbatu. Sistem ini memanfaatkan air yang mengalir dari pegunungan untuk mengairi lahan yang dibentuk menjadi teras-teras. Sistem ini juga membantu mencegah erosi tanah, mempertahankan kesuburan tanah, dan menciptakan pemandangan yang indah.

Sementara itu, Indonesia memiliki budaya petani yang lebih heterogen dan beragam, yang dipengaruhi oleh keberagaman etnis, agama, dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Budaya petani di Indonesia mencerminkan ketergantungan manusia pada alam, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai seperti adat istiadat lokal, kepercayaan spiritual, dan got.

Ref:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak